Jumat, 18 Agustus 2017

Memoirs of a Geisha (2005) ~ Review Film

Kisah Sayuri (Zhang Ziyi) bermula di desa nelayan miskin pada tahun 1929, ketika sebagai anak perempuan berusia sembilan tahun, dengan mata biru kelabu yang luar biasa, dia dijual ke sebuah rumah geisha terkenal. Tidak tahan dengan kehidupan di rumah itu, dia mencoba melarikan diri. Tindakan itu membuat dia terancam menjadi pelayan seumur hidup. Saat meratapi nasibnya di tepi Sungai Shirakawa, dia bertemu Pak Ketua (Ken Watanabe). Di luar kebiasaan, pria terhormat ini mendekati dan menghiburnya. Saat itu Sayuri bertekad akan menjadi geisha, hanya demi mendapat kesempatan bisa bertemu lagi dengan pria itu, suatu hari nanti.

Melalui Sayuri, kita menyaksikan suka duka wanita yang mempelajari seni geisha yang berat; menari dan menyanyi; memakai kimono, makeup tebal, dan dandanan rambut yang rumit; menuang sake dengan cara sesensual mungkin; bersaing dengan sesama geisha memperebutkan pria-pria dan kekayaan mereka. Namun ketika Perang Dunia II meletus, dan rumah-rumah geisha terpaksa tertutup, Sayuri, dengan sedikit uang, dan lebih sedikit lagi makanan, harus mulai lagi dari awal untuk menemukan kebebasan yang langka dengan cara-caranya sendiri.

Ide cerita Memoirs of a Geisha sebenarnya sederhana, bahkan cenderung klise. Tentang perempuan muda yang mengalami berbagai rintangan dan cobaan sebelum menemukan kebahagiaan. Sayuri si tokoh utama digambarkan memiliki kecantikan tak biasa dan berbagai kelebihan, dilengkapi kelemahan khas Cinderella. Tokoh-tokoh antagonis digambarkan seantagonis mungkin. Ibu dan Nenek dengan mulut tajam dan fisik buruk, sementara Hatsumomo (Gong Li) yang cantik memiliki sifat jahat berlebihan ala sinetron Indonesia.

Tapi bukan berarti tak layak ditonton. Ini cerita historical romance yang indah. Saya sendiri sudah menontonnya berulangkali sejak film ini rilis di tahun 2005, dan lagi, lagi, dan lagi.

Mengikuti perjalanan hidup Sayuri sebagai gadis kecil dari desa nelayan sampai menjadi perempuan bebas yang berhasil meraih cintanya sama sekali tak membosankan, karena ide cerita yang sederhana tersebut dipadukan dengan detil-detil ‘cantik’ yang memanjakan imajinasi. Latar budaya Jepang zaman dulu, atau lebih spesifik lagi budaya geisha yang gemerlapan sekaligus dramatis.

Dalam urusan romance, mengingat Sayuri jatuh cinta pada Ketua sejak masih anak-anak seharusnya ada semacam chemistry antara keduanya. Tapi saya justru merasakan chemistry pada Sayuri dan Nobu. Saya merasa sifat keduanya yang bertolak belakang namun saling menyayangi, sangat serasi.

Filmya sendiri menyuguhkan sinematografi yang indah dengan para pemeran yang mumpuni. Perlu diketahui, aktor-aktris dalam film ini harus mengucapkan dialog mereka dalam bahasa Inggris berdialek Jepang. Padahal Gong Li dan Zhang Ziyi saat itu bahkan tak fasih berbahasa Inggris, apalagi Jepang. Saya tak paham apakah dialek Kyoto mereka bagus, tapi bagaimanapun saya salut pada upaya mereka. Apalagi mereka memang mempelajari berbagai seni geisha selama beberapa bulan sebelum syuting.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentarlah dengan baik...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More